Minggu, 16 Agustus 2015


Pagi tanggal 16 Agustus ini kami harus sudah bersiap-siap menuju ke luar kota, kota tempat kelahiran saya. Ada undangan pernikahan teman SMP yang harus dihadiri. Dinginnya pagi tidak kami hiraukan. Toh kota kelahiran saya jauh lebih dingin dari kota tempat tinggal sekarang ini karena bisa dibilang kota kelahiran saya ini berada di jalur kaki gunung, gunung Merapi tepatnya. Cukup dengan sehelai jaket membungkus badan untuk menemani perjalanan motor kami kurang lebih satu setengah jam.

Bisa dibilang perjalanan kali ini tidak se-ringan biasanya karena sebenarnya kami juga punya tanggungan lain, ada acara sendiri di lingkungan tempat tinggal. Tapi bagaimanapun kami sebagai muslimjuga tidak bisa menolak undangan ini karena sudah wajib hukumnya untuk menghadiri sebuah undangan. Terlebih teman SMP saya ini sudah jauh-jauh hari mengundang tapi waktunya yang belum pasti. Ya sudah, memang harus ada salah satu yang dikorbankan.

Saat kami keluar gang perumahan, kami berpapasan dengan para tetangga yang sedang jalan santai. Ya, acara di lingkungan tempat tinggal itu adalah jalan santai, salah satu dari serangkaian acara lainnya dalam memperingati Hari Kemerdekaan yang ke-70. Rencananya,  setelah jalan santai acara selanjutnya adalah lomba-lomba untuk anak-anak, malamnya dilanjut dengan acara tirakatan yang hanya berisi dengan acara makan-makan saja.  Malam sebelumnya sudah dimulai dengan pertandingan voli bapak-bapak dan alhamdulillah suami bisa ikut. Hanya acara pagi saja yang kami harus absen.


Jalanan pukul 6-an masih sepi dan memang asyik untuk berjalan-jalan. Karena di tujuh menit perjalanan, kami juga menemui sekelompok warga yang tengah jalan santai. Kali ini peserta lebih banyak sekitar empat kali peserta di tempat tinggal, mungkin kampungnya lebih besar dibanding perumahan tempat tinggal saya. Ternyata tidak sampai disitu, banyak sekali kampung-kampung lain melakukan kegiatan yang sama. Puncaknya ketika kami melewati alun-alun kota, kami berpapasan dengan peserta jalan santai yang disponsori oleh brand tertentu. Pesertanya jauh lebih banyak dan lebih meriah karena kaos yang dipakai dominan merah dan putih, sesuai dengan warna bendera. Meriah sekali.

Disepanjang jalan juga ternyata banyak sekali bendera-bendera yang dipasang warna-warni dan saya baru menyadarinya bahwa event akbar tahunan ini sangat meriah.


Ah, tiba-tiba saya merinding. Inikah Indonesia? Bangsa yang begitu dicintai oleh rakyatnya? Bangsa yang begitu dibanggakan oleh rakyatnya? Bangsa yang setiap warganya merasa memilikinya? Bangsa yang warganya begitu gigih membelanya? Semua lapisan masyarakat seakan hanyut dalam euforianya; anak-anak, tua, muda, laki-laki, perempuan, bapak-ubapak, ibu-ibu, semuanya bersuka cita. Kampung-kampung beramai-ramai memasang bendera dan umbul-umbul warna-warni yang membuat jalan semakin meriah. Anak-anak yang begitu antusiasnya mengikuti lomba yang ada, lomba-lomba klasik yang selalu seru; balap karung, makan krupuk, panjat pinang. Bapak-bapak dan ibu-ibu yang tidak kalah hebohnya dari anak-anak dengan lomba 'dewasa'nya; lomba masak, merias wajah, kekompakan suami-istri,  semua larut dalam keceriaan. Semua merasa inilah hari kemerdekaan bangsaku secara pribadi, ini bangsaku, ini acaraku, ini semua milikku.

Jadi ingat pertandingan bola di akhir tahun 2010, saat Indonesia melawan Malaysia. Begitu bangganya bangsa Indonesia dengan tim Merah Putihnya. Lagu Indonesia Raya menggema di penjuru stadion Senayan, di stasiun, di warung kopi, di cafe, di pangkalan ojek sampai di ruang keluarga. Berjuta pasang mata menonton penuh harapan, karena merasa Indonesia adalah miliknya. Dan ketika Indonesia  harus kalah, tidak sedikit orang yang bersedih dengan kekalahan itu bahkan sampai sangat membenci negara tetangga, itu karena Indonesia milikku.

Pernah suatu ketika saya membaca sebuah portal berita hiburan yang menampilkan foto-foto bukti aksi vandal segelintir warga Indonesia yang berkesempatan wisata di luar Indonesia. Situs-situs sejarah milik negara asing tidak luput dari keisengan tangan jahil yang tidak bertanggung jawab, dengan corak Indonesia. Saya tiba-tiba merasa malu sendiri. Merasa bertanggung jawab dengan tingkah saudara setanah air. Saya merasa sebagai warga Indonesia dan memiliki Indonesia, makanya saya malu dengan itu semua. Saya menyalahkan orang tersebut yang seenaknya membuat nama Indonesia tercoreng. Bukan hanya Anda, sayapun memiliki Indonesia! Kutuk saya dalam hati.

Ketika mendengar kabar ada seorang siswa yang mendapat medali emas di olimpiade tingkat dunia pun saya ikut merasa bangga. Bangga menjadi warga Indonesia yang ternyata memiliki warga yang berhasil mengharumkan nama bangsa. Ikut menangis ketika siswa tersebut menangis dipelukan ayah ibunya. Karena bukan hanya Anda, sayapun memiliki Indonesia.

Sekarang, jika saya berbelanja bulanan, saya menghindari brand-brand Internasional meskipun brand -brand tersebut sangat familiar dan telah saya pakai selama bertahun-tahun. Sekarang saya lebih memilih produk-produk lokal. Saya berharap dengan langkah kecil itu akan berpengaruh pada daya saing produk lokal dengan brand asing. Mungkin langkah tersebut kelihatan sok ya, tapi setidaknya ada langkah nyata kita untuk ikut menstabilkan ekonomi bangsa ini yang mengkhawatirkan. Apalagi posisi Rupiah yang akhir-akhir ini terus melemah. Dengan memperkuat barisan produk lokal dan produk-produk UKM, akan berdampak pada kekuatan ekonomi bangsa ini dengan mengandalkan kekuatan dari dalam. Insya Allah.

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA YANG KE 70.


0 komentar:

Posting Komentar