Rabu, 02 Maret 2016



Ahad pagi kemarin kami pergi ke klinik hewan langganan untuk melepas infus yang terpasang di kaki kucing kami, Opu. Saya bilang langganan karena sudah beberapa kali kami bolak-balik ke klinik tersebut untuk check up Opu yang tengah terserang virus. Meskipun begitu, berkunjung ke klinik tersebut seolah menjadi hiburan tersendiri buat balita kami. Karena di depan ruang tunggu terdapat LCD TV yang terpajang di tembok. Bukan TV nya yang menakjubkan bagi dia (meskipun seringnya memang seperti itu karena memang di rumah kami tidak ada TV dan balita kami selalu takjub akan TV di tempat-tempat yang kami kunjungi yang tentu ada TV nya, hehe...) tetapi tayangannya. Beberapa kali kami berkunjung kesana TV tersebut sedang menayangkan dunia hewan. Ya, TV langganan kesukaan balita saya. Pekan sebelumnya tentang ikan hiu yang menjadi monster bagi para pelayan, pekan sebelumnya lagi tentang domestic animals yang lucu-lucu, entah tayangan apa untuk kunjungan kali ini :)

Sesampai disana ternyata kami harus antri, karena disana sedang ada pasien yang harus ditangani. Nomer antrian sebelum kami pun masih setia menunggu dengan kucingnya yang ada di dalam keranjang. Kami duduk di kursi tunggu seperti biasa dan anteng menatap layar di tembok. Tapi tunggu, ternyata tayangan kali ini bukan TV langganan seperti biasa tetapi tayanga stasiun TV swasta. Tapi lumayanlah, tayangannya mengenai sebuah ekspedisi ke sebuah pulau di negeri ini. Di tayangan tersebut diceritakan tentang cara pembuatan sebuah kapal kalau tidak salah (suara tidak begitu jelas karena klinik agak bising dengan suara binatang dan kesibukan orang-orang) jadi beberapa kali men-shoot gambar kapal. Ini membuat balita kami tertarik dengan tayangan ini dan duduk manis sambil sibuk mengomentari kapal-kapal tersebut.

Kami masih diminta sabar untuk menunggu giliran karena antrian di depan kami sedang ditangani sekarang. Penanganan agak lama karena ternyata kucing yang dibawa tengah sakit hepatitis dan harus dirawat inap. Tayangan di TV pun berganti. Balita kami mulai cari kesibukan lain seperti biasa (mondar-mandir cari lapak lain,wew...) karena tidak cocok dengan tayangan yang ada; tentang fashion. Tayangan yang berjudul 'dua jilbab' (bukan judul sebenarnya) mulai mewarnai layar. Tayangan diawali dengan pengenalan terhadap duo cantik presenternya. Dilihat dari presenternya saya sudah mulai bisa menebak kemana arah tayangan tersebut. Apalagi dilihat dari dandanan hijab (kata mereka hijab dan sering disebut hijabers) duo presenter ini yang modis.

Di tengah acara terdapat peragaan busana hijaber versi masing-masing presenter (sepertinya begitu karena saya hanya lihat dari tulisan yang terpampang, lagi-lagi saya tidak bisa menangkap suaranya). Satu demi satu model keluar memamerkan busananya yang berlokasi di kolam renang di sebuah hotel. Tapi ternyata peragaan ini berbeda dengan peragaan yang biasa dilakukan di catwalk. Di peragaan ini sangat ditampilkan detail dari busana tersebut; mulai dari bahan, potongan busana, detail hijab, detail lidah kancing sampai kolor celananya (saya lupa istilahnya apa). Tentun saja dengan shoot yang begitu dekat dan diperbesar agar detail lebih jelas terlihat. Dari situ saya mulai risih dengan tayangan itu. Shoot dekat hijab dengan wajah yang selalu tersenyum manis, shoot dimulai dari arah dagu sang model. Wajah ayu dengan make up sempurna mewarnai layar kaca berukuran 34 inchi. Lalu berlanjut ke detail manset kemeja, jari tangan yang lentik sang model memamerkan detail manset tersebut. Berlanjut lagi ke lidah kancing kemeja, shoot dekat memamerkan detail tersebut yang terpampang jelas di depan dada sang model dengan tangan yang menjelujur di sepanjang lidah kancing kemeja tersebut. Ah, dari sini saya sudah mulai gerah dengan tayangan tersebut. Masih dilanjutkan dengan detail celana tanpa resleting tetapi berupa ikatan-ikatan tali yang saya sendiri lupa namanya di depan alat vital. Stop, stop. Saya benar-benar risih dengan tayangan ini.

Tayangan yang berbeda jauh dari konteks judulnya, dua jilbab. Jilbab yang hakikatnya juga dipakai sebagai tameng badan agar badan tidak terumbar sedemikian rupa justru disini dipamerkan dengan dalih untuk melihat detail busana yang katanya 'hijab' itu. Prinsip hijab juga sepertinya sudah ditanggalkan, dada yang begitu mencolok kelihatan serta saya pun bisa melihat secara gamblang bentuk tubuh sang model meski kemeja-kemeja yang dipakai memang terlihat 'agak' gombrong. Saya ber-husnudzon bahwa yang meng-shoot gambar adalah seorang kamerawoman bukan kameraman. Akan tetapi lihatlah pemirsa tayangannya siapa, apa bisa menjamin kalau pemirsanya adalah hanya para wanita sedangkan TV swasta tersebut menjelajah ke pelosok negeri? Tidak usah jauh-jauh lah sampai ke pelosok negeri, saat tayangan tersebut berlangsung di klinik ada tambahan seorang mas-mas yang antri dibelakang saya untuk grooming kucing persianya. Saya sebagai perwakilan wanita di ruangan itu saja merasa malu akan cara peragaan model tersebut (lah saya siapanya model tersebut coba, hehe...)

"Aduh mak, emak-emak ini ndeso deh, jilbab itu sekarang sudah menjadi fashion. Harusnya bersyukur karena dengan di-fashion-kan jilbab itu jadi tambah dikenal masyarakat. Orang yang dulu enggan berjilbab pun akan tertarik untuk berjilbab tanpa kita harus mengadakan pengajian-pengajian. Jilbab kan wajib mak sedangkan orang kalau disuruh ikut pengajian juga susah. Alhamdulillah dong tanpa pengajian pun orang akan berbondong-bondong memakai jilbab." Komentar seperti ini bisa didapatkan dari orang yang melek fashion, baju dan segala aksesoris yang dipakai selalu up to date. Tapi maaf kalau saya bilang, justru seperti inilah yang tidak berprinsip dan cenderung ikut-ikutan. Yang namanya jilbab dari dulu saat  syari'at jilbab itu diturunkan hingga esok kiamat pun masih tetap sama, pakaian longgar yang menutupi seluruh badan, yang tidak membentuk tubuh, yang menutup dada, yang tidak tipis tidak menerawang dan yang yang lainnya. Tidak ada itu yang katanya jilbab/hijab yang mengikuti tren atau model. Adakah menemukan Al Qur'an itu mengikuti tren dan model? Tentu saja tidak! Dari Al Qur'an diturunkan hingga kiamat kelak juga seperti itu adanya, tidak berubah sama sekali. Lagipula memakai jilbab juga tidak butuh pengajian (kalau misalnya ada juga kajian seperti itu bagus juga untuk menambah ilmu) tapi penting untuk dikaji. Kaji ilmunya dengan benar. Jangan sembarangan ikut-ikutan. Kalau kita sudah tau ilmu dan syari'at nya insya Allah langkah yang diambil pun akan tepat.

Di dalam QS. An Nur ayat 31 disebutkan, "... Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan..." Ini bisa diartikan larangan berlaku tabarruj didepan umum. Memamerkan perhiasan yang dipakai didepan umum dan bersolek. Adapun bersolek bagi wanita yang sudah bersuami didepan suaminya justru sangat dianjurkan untuk menyenangkan hati suami. Beda cerita bagi wanita yang belum menikah, mereka bersolek untuk siapa? Senyum sembarangan diumbar untuk siapa? Yang ini malah justru merelakan tubuhnya untuk di shoot secara dekat dengan dalih untuk memperjelas detail baju. Jilbab juga semestinya digunakan untuk mengendalikan diri, membatasi tingkah laku kita dan tentunya sebagai pembeda antara kita wanita muslim dengan wanita non muslim lainnya. Astaghfirullah... Ini juga berlaku bagi saya pribadi.

Di awal tahun 2000-an saat jilbab tidak sebanyak sekarang, di sekolah-sekolah pun masih sedikit yang memakai (tahun pertama SMP, tahun berikutnya jilbab sudah mulai menjamur. Ini masih di taraf sekolah) saya mulai mengenakan jilbab untuk di rumah dan segala aktifitas sehari-hari. Di kampung saya mungkin baru saya yang membiasakan jilbab di rumah pada saat itu (saudara jauh saya juga sebenarnya sudah banyak yang memakai jilbab untuk kesehariannya, tapi saat itu mereka tidak tinggal di kampung saya, mereka tinggal di perantauan). Pada awalnya saya sangat merasa malu, mau keluar rumah pakai jilbab rasanya iya tapi tidak. Lepas jilbab pakai lagi, lepas lagi pakai lagi, itu yg terjadi di dalam rumah saat hendak beraktifitas di luar rumah. Akhirnya saya nekat memakai jilbab ini. Deg-degan luar biasa. Jalan hanya menunduk karena merasa diikuti oleh ekor mata tetangga. Sampai ada seseorang yang bilang saat itu kepada saya, "Kalau aku yang penting yang dijilbabi hatinya dulu, baru nanti jilbab kerudung yang dipakai. Kalau sekarang pakai jilbab tapi hatinya belum dijilbabi aku takut, itu kan konsekuensinya berat..." Waktu itu saya ingin menyanggah, lho justru konsekuensinya lebih berat kalau kita tidak memakai kan? Bukan masalah hati karena memakai jilbab itu menuntut amalan badan bukan hanya sekedar amalan hati atau niat. Tapi karena waktu itu saya masih deg-degan awal pakai jilbab dan orang yang bilang seperti itu lebih tua dari saya, saya hanya tersenyum dan diam saja. Hanya dalam hati bilang, ihh kayak judul Qasidahan Nasidaria saja jilbab hati, hehe...

Berbeda dengan saat ini yang dengan mudahnya kita menemukan muslimah yang memakai jilbab. Justru sekarang jadi aneh kalau ada muslimah yang tidak memakai jilbab apalagi untuk aktifitas luar rumah seperti saat bepergian. Dulu saat saya mencari jilbab di pasar, model yang ada hanya itu-itu saja; kain segi empat yang dipakai menjadi kerudung segitiga. Jilbab instan pun tidak semua toko menyediakan. Tapi sekarang, tidak hanya di jalanan kota besar, di jalanan pelosok pun kita akan sangat mudah menemukan gerai jilbab yang menyuguhkan beraneka ragam bentuk dan merk jilbab. Mulai dari jilbab yang dipakai penjual sayur di pasar hingga jilbab yang katanya keluaran artis anu menjamur luas. Maka dari itu mungkin komentar yang didapatkan akan berbeda jika dibanding dengan komentar tahun 2000an lalu, "Lho jilbab gini-gini (jilbab ngetrend yang terkadang belum memenuhi syari'at) yang penting aku sudah melaksanakan kewajibanku sebagai muslimah. Kewajibanku gugur. Berubah ke arah lebih baik itu butuh proses, tidak bisa seketika saat itu juga berubah total. Butuh kesiapan mental juga..."  Senada dengan alasan jaman dulu sebenarnya. Sudahlah, kalau sudah tau bahwa itu kewajiban yang memang harus dilaksanakan, kenapa harus melangkah setengah-setengah bukan totalitas? Toh sama-sama kepala tertutup juga. Ibarat kata sudah nanggung. Tidak usahlah takut dibilang ketinggalan jaman karena jilbab itu tidak termakan oleh jaman. Tidak perlu pula terlalu mengikuti trend yang selalu berputar dan cenderung ikut-ikutan,  toh syari'at jilbab dari dulu hingga kiamat kelak tetaplah sama tidak berubah. Melaksanakan kewajiban sesuai syari'atnya tanpa perlu modifikasi.

Suatu ketika saya iseng masuk ke sebuah forum yang sedang membahas tentang LGBT, isu yang tengah hangat akhir-akhir ini. Diskusi hangat yang berakhir seperti debat kusir. Tapi ada satu postingan yang bagus dari salah satu member. Kurang lebih isinya begini:
"Fenomena LGBT sekarang ini justru semakin membuktikan kebenaran syari'at Islam. Islam mewajibkan muslimahnya untuk menutup aurot. Ini membuat para lelaki akan merasa penasaran dengan apa yang berada dibalik jilbab itu. Apalagi bagi yang memakai cadar, lelaki akan lebih penasaran hanya dari matanya yang indah itu. Dari situ lelaki akan 'menggilai' perempuan. Tapi coba tengok fenomena yang terjadi sekarang, di jalan-jalan, di mal, di pasar dan di tempat umum lainnya, kita akan mudah sekali menemukan wanita yang dengan sukarela mengumbar aurot mereka. Lelaki yang melihat memang akan terpesona dengan pemandangan di depannya. Tapi hanya sesaat saja karena lelaki itu pasti mikir 'isinya sama saja dengan yang barusan lewat'. Dari situ lelaki mulai tidak tertarik dan penasaran lagi dengan wanita, lha asetnya sudah dibeberkan secara cuma-cuma. Lelaki pun akhirnya akan mulai bosan --apalagi dengan laki-laki yang banyak bergaul dengan perempuan-perempuan cantik terutama di dunia entertaintment-- mereka akan mencari sesuatu yang berbeda yang lebih membuat penasaran. Maka muncullah fenomena LGBT ini." Nah kan, sungguh luar biasa kalau syari'at Islam yang satu ini ditegakkan dengan sungguh-sungguh sesuai konteksnya. Akan banyak manfaat yang diambil oleh ummat manusia lain. Hanya saja sekarang syari'at itu 'agak' dimodifikasi menjadi sebuah tren yang sudah agak melenceng dari konteksnya. Seperti dengan tayangan yang saya ambil contoh diatas, berhijab tapi tidak sesuai syari'at. Jangan sampai kita menjadi bagian yang disabdakan Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam tentang salah satu tanda-tanda kiamat; berpakaian tapi telanjang. Kita mungkin sudah merasa melaksanakan kewajiban menutup aurat tapi ternyata tidak sesuai dengan syari'at yang dianjurkan. Bukankah itu hanya sia-sia belaka?





0 komentar:

Posting Komentar